Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

This Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 30 April 2010

Nama ‘SYAMSYUDDIN’, Bolehkah? (Dengan Sambungan ad-Din)


Oleh: Abu Ashim Muhtar Arifin – hafizhahullah-

Salah satu penamaan yang banyak dipakai masyarakat adalah disandarkannya nama seseorang kepada agama, yaitu dengan menambahkan kata Din (agama). Sejaka kapan penamaan seperti ini ada? Bagaimana pendapat ulama tentang hal ini? Berikut uraian ringkasnya.

Asal Mula Penamaan Yang Dinisbatkan kepada Din

Penamaan dengan laqob (gelar/julukan) yang dinisbatkan kepada agama bukanlah berasal dari tiga generasi pertama dan utama, tapi terjadi setelahnya.

Ketika menjelaskan seputar laqob Ibnu Hajar al-Asqalani, as Sakhawi mengatakan:

“Aku berkata: “Pemilik biografi ini (yaitu Ibnu Hajar) telah memberi faedah –sebagaimana yang aku baca dalam tulisannya – bahwa pemberian laqob yang dinisbatkan/disandarkan kepada Din terjadi pada permulaan Dinasti Turki di Baghdad yang telah menguasai Dailam.”

Dahulu, pada zaman Dailam, mereka menyandarkan laqob tersebut kepada kata Daulah (Negara). Di antara orang yang paling akhir dalam hal ini adalah Jalaluddaulah bin Buwaih (dalam manuskrip lain disebutkan: Jalaluddin bin Buwaih). Dan orang pertama yang menjadi raja Turki adalah Tughrl Bik, lalu mereka memberinya laqob Nushrotuddin. Sejak itulah, tersebar laqob seperti ini, dan itu tidak banyak digunakan melainkan beberapa waktu setelahnya.

Kemudian aku juga melihat pada tulisan beliau (Ibnu Hajar) dalam Ikhtiyarot-nya dari at-Tadwin fi Tarikh Qazwin, terdapat sebuah ringkasan yang isinya bahwa gempa yang terjadi di Qazwin bulan Ramadhan 513H, mengakibatkan runtuhnya ruangan sebuah masjid Jami’, yang kemudian dibongkar untuk diperbaiki. Lalu ditemukan sebuah papan di bawah mihrab yang berukir tulisan:

“Dengan menyebut Nama Allah, Pemimpin Adil al-Mudzaffar ‘Adhududdin ‘Ala’uddaulah Abu Ja’far memerintahkan agar papan ini dijaga seterusnya. Ditulis pada bulan Ramadhan tahun 422.”

Syaikh kami (Ibnu Hajar) berkata: “Faedah yang dapat dipetik darinya, bahwa waktu itu merupakan permulaan laqob dengan ‘Ala’uddin. (Al-Jawaahir wa ad-Durar, hal.4-5 dalam naskah yang digabungkan dengan Inba’ al-Ghumr Bi Anba’ al ‘Umr, karya Ibn Hajar, jilid yang kelima)

Ahmad al-Khafaji (wafat 1069H) menjelaskan –dengan menukil pernyataan Ibnul Hajj- bahwa pada masa Dinasti Turki tersebut, mereka tidak memberikan laqob yang dinisbatkan kepada Daulah, melainkan dengan izin dari Sultan, dan mereka membayarnya dalam rangka pemberian sebutan tersebut. Setelah itu mereka berpaling dari laqob dengan menyandarkan kepada kata Daulah, dan menuju kepada laqob yang digabungkan dengan kata Din. [Raihanah al-Aliba wa Zahrah al-Hayah ad-Dunya, jilid 1, hal.155, tahqiq Abdulfattah Muhammad al-Hulw]

Demikianlah uraian ringkas berkaitan dengan asal-muasal dipakainya panggilan yang disandarkan kepada Din.

Fatwa Para Ulama Tentang Nama Yang Dinisbatkan Kepada Din

Ulama banyak yang mencela nama yang dinisbatkan kepada Din.

Diantara mereka adalah:

Pertama: Imam al-Qurthubi al-Maliki (wafat 671H).

Ketika menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 49:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?”

Beliau mengatakan: “Al Qur’an dan as-Sunnah menunjukkan bahwa menganggap diri bersih/suci merupakan hal terlarang. Termasuk kategori larangan ini, fenomena yang telah tersebar luas di negeri Mesir dengan disifatinya diri sendiri dengan sifat-sifat yang mengandung tazkiyah (anggapan diri bersih dan suci) seperti Zakiyyuddin, Muhyiddin dan semisalnya. Dan ketika keburukan kaum muslimin semakin meluas dengan nama-nama seperti ini, tampaklah keterbelakangan sifat-sifat ini dari aslinya, sehingga tidak memberi faedah sedikitpun.” [Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz V, hal.246, dar Ihya’ Turats Arabi, Bairut, 1965 dan Kasysyaf Tahlili, karya Syaikh Masyhur dan Jamal ad-Dasuqi, hal.13, Dar Ibnul Qayyim]

Kedua: Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (wafat 676H)

Ibnul Hajj menyampaikan dari Imam an-Nawawi rahimahullah, bahwasanya beliau amat benci tatkala diberi laqob Muhyiddin.

Ibnul Hajj juga berkata: “Sungguh dalam sebagian kitab yang dinisbatkan kepada beliau (an-Nawawi) terdapat ucapan: “Sesungguhnya aku tidak membolehkan orang-orang memberiku nama Muhyiddin).”

Aku juga pernah melihat beberapa ulama pemilik keutamaan dan kebaikan dari kalangan madzhab Syafi’i, -ketika menceritakan sesuatu dari an-Nawawi- ia berkata: “Yahya an-Nawawi berkata…”

Lalu aku bertanya tentang ungkapan itu (Muhyiddin) kepadanya, ia menjawab: “Sesungguhnya kami dahulu tidak suka memanggilnya dengan panggilan yang ia benci semasa hidupnya.” [Tanbih al-Ghafilin, Ibn Nahhas asy-Syafi’i, hal.510]

Ketiga: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728H)

Syaikh Bakr menjelaskan bahwa Syaikhul Islam dahulu tidak ridha dengan laqob Taqiyyuddin.[Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah, Syaikh Bakr Abu Zaid, hal.22]

Keempat: al-Fadhl bin Sahl

Diakhir biografi Taqiyyuddin bin Ma’ruf, Ahmad al-Khafaji menukil ungkapan dari al-Fadhl bin Sahl tentang masalah penamaan ini. Beliau memiliki sebuah qasidah yang berisi celaan terhadap nama seperti Fakhruddin dan ‘Izzuddin. [Raihanah al Alibba’, I/154]

Kelima: Ibnu an-Nahhas asy-Syafi’i (wafat 814H)

Ia mengatakan: “Perkara merata dalam agama ini, yang berupa kedustaan yang telah tersebar pada lisan mayoritas kaum muslimin, yaitu perbuatan bid’ah yang diada-adakan berupa laqob-laqob seperti Muhyiddin, Nuruddin, ‘Adhududdin, Ghiyatsuddin, Mu’inuddin, Nashiruddin dan sebagainya. Ini merupakan kedustaan yang terulang terus pada lisan tatkala memanggilnya, memperkenalnya, bercerita tentangnya, dst. Semua itu adalah bid’ah dalam agama, perbuatan mungkar yang menyelisihi syariat. Apalagi orang yang banyak memakai nama tersebut adalah fasiq, zhalim, tidak tahu-menahu tentang agama. Sekiranya hal itu sesuai dengan hakikat, maka nama-nama tersebut hukumnya makruh, karena mengandung tazkiyah. Lantas, bagaimana hal ini dibolehkan padahal jauh dari majaz, apalagi hakikat.” [Tanbih Ghafilin an A’mal al-Jahilin, hal.509, tahqiq ‘Imaduddin Abbas Sa’id, Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah, Bairut]

Keenam: Imam ash-Shan’ani (w.1182H)

Beliau pernah melantunkan sebuah bait syair:

Orang itu memakai nama Nuruddin (Cahaya Agama), padahal gelap (agamanya)

Dan yang ini bernama Syamsuddin (Mataharinya Agama), padahal ia buta (agama)

[Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah, Syaikh Bakr Abu Zaid, hal.11]

Ketujuh: Muhammad Shiddiq Hasan Khan (wafat 1308H)

Beliau menyebutkan sebuah hadits yang berkaitan dengan pengubahan nama Barroh menjadi Zainab, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Janganlah kalian menyucikan diri-diri kalian, Allahlah yang lebih mengetahui orang-orang yang berbuat baik di antara kalian. Berilah dia nama Zainab.” [Muslim]

Setelah itu, al-Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khan berkata: “Ini menunjukkan akan makruhnya memberi nama dengan Muhyiddin, Quthbuddin, Fakhruddin, ‘Adhimuddin dan sejenisnya, sebab nama-nama tersebut mengandung tazkiyah (pensucian).” [ad-Din al-Khalish, jilid 2, hal.186, Kementrian Urusan Agama Qathar, cet.1, 1428H)

Kedelapan: Syaikh al-Albani.

Setelah membawakan hadits dalam kitab ash-Shahihah, no.216 beliau berkata: “Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh memakai nama dengan ‘Izzuddin, Muhyiddin, Nashiruddin…dan semacamnya.” [Silsilah al-Hadits ash-Shahihah, jilid 1 hal.427]

Kesembilan: Fatwa Syaikh Bakr Abu Zaid

Syaikh Bakr berkata: “Makruh hukumnya memberi nama dengan nama yang disandarkan kepada nama lain, mashdar (inggris; gerund), sifah musyabbahah yang disandarkan kepada kata Din dan lafal Islam, seperti Nuruddin, Dhiyaa’-uddin, Saiful Islam, Nurul Islam lantaran agungnya kedudukan dua lafal ini; Din dan Islam. Jadi, menyandarkan (nama) kepada keduanya merupakan sebuah dakwaan mentah yang dekat dengan kedustaan. Oleh karenanya, sebagian ulama menegaskan keharamannya, sedangkan mayoritas mereka menghukuminya makruh. Sebab, nama-nama tersebut ada yang mengesankan makna tidak benar yang tentunya tidak boleh digunakan.

Pada mulanya, nama-nama ini merupakan gelar tambahan, namun selanjutnya dipakai sebagai nama.

Dan diantara nama ini ada yang dilarang karena dua alas an seperti Syihabuddin. Karena Syihab artinya bara api, kemudian disandarkan kepada kata Din. Bahkan di Indonesia, kondisi seperti ini sampai kepada pemberian nama dengan Dzahabuddin, Masuddin (emasnya agama).

Dahulu an-Nawawi rahimahullah membenci laqob Muhyiddin, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah tidak suka dengan laqob Taqiyyuddin, beliau mengatakan: “Akan tetapi keluargaku memberiku laqob seperti ini, hingga (laqob ini) menjadi tenar.” [Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah, hal.563-564]

Kesimpulan

Dari pernyataan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian nama seperti ini adalah tercela, sebab mengandung unsur tazkiyah (menyucikan diri). Sedangkan tazkiyah itu adalah dilarang, berdasarkan al Qur’an dan as Sunnah, sebagaimana yang tertera pada surat an-Nisa’ ayat 49 dan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim tentang nama Zainab di atas. Allahu a’lam bi ash-Shawab.

Demikian uraian ringkas dari kami ini, semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang penamaan seseorang dan tidak terjatuh ke dalam nama yang tercela.

Sumber: Disalin ulang dari Majalah adz-Dzakiirah, Vol.8, No.7, Edisi 61, Th.1431/2010

Dipublikasikan kembali oleh: Al Qiyamah – Moslem Weblog

sumber : http://alqiyamah.wordpress.com/2010/04/30/nama-%E2%80%98syamsyuddin%E2%80%99-bolehkah-dengan-sambungan-ad-din/#more-10187

Download Al-Qur'an

1.Al-Quran MP3 (http://www.al-quran.ca/)
2.Software Al-Quran (http://software.informer.com/)
3.Brothersoft Al-Quran (http://www.brothersoft.com/)
4.softlookup Al-Quran (http://www.softlookup.com/)
5.quran.kawanda (http://quran.kawanda.net/)
6.Ringtone (http://www.semuabisnis.com/)
7.Download Al Quran Digital with Mp3 (http://cokiehti.wordpress.com/)
8.Download Al Qur’an Digital Terjemah Bahasa Indonesia Full (http://www.khabarislam.com/)
9.binamuslim (http://www.binamuslim.com/)

Selasa, 06 April 2010

Seputar Musibah Semburan Liar LPG Dari PSV Skidtank Di Bukit Khayangan Pangkalansusu

Oleh : Freddy Ilhamsyah PA

Pada tanggal 01 April 2010 sekitar pukul 21.45 WIB masyarakat kota Pangkalansusu digemparkan oleh suara letupan dan desingan keras bagaikan suara deruan mesin pesawat tempur jet super sonic yang membahana di udara kota Pangkalansusu. Beberapa menit kemudian menyusul bau busuk odoran merkaptan - bahan kimia sulfur yang dicampurkan ke LPG agar dapat terdeteksi apabila terjadi kebocoran pada tabung gas - yang menjalar dan menyelimuti sebagian besar udara pusat kota Pangkalansusu.

Menurut informasi, suara letupan dan desingan keras berasal dari PSV ( presure safety valve ) skidtank T 70 berkapasitas 3000 m3 di kawasan Tank Yard Bukit Khayangan Pangkalansusu milik Pertamina Gas Domestik (Gasdom) Region I Sumatera, Medan yang pada malam kejadian sedang melakukan pengisian ( loading ) elpiji dari kapal tanker AE Gas yang sandar di dermaga pengisian elpiji pelabuhan Pangkalansusu. Peristiwa tersebut berlangsung selama sekitar 45 menit.

Mengetahui telah terjadi semburan liar elpiji dari dari tanki “ telor “ - begitu sebutan masyarakat untuk skidtank elpiji di Bukit Khayangan Pangkalansusu - ribuan warga masyarakat berhamburan keluar dari rumah mereka untuk mengungsi ke tempat yang diperkirakan aman.

Mereka mengungsi karena selain tidak tahan mengirup bau busuk aroma merkaptan, masyarakat juga kawatir apabila terjadi kebakaran akibat adanya semburan liar elpiji tersebut. Di benak mereka terbayang, tanki elpiji ukuran 3 kilo meledak, rumah terbakar. Bagaimana pula jadinya kalau tanki elpiji berkapasitas 3000 m3 itu meletup dan disusul pula terjadi ledakan susulan dari 3 tanki kembar elpiji yang berada di samping tanki T 70. Kondisinya akan bertambah parah bila terjadi kebakaran dan kobaran api merembet ke beberapa tanki crude oil bercampur kondesat yang berada tidak jauh dari 4 tanki “telor” elpiji tersebut. Masyarakat jadi bertambah panik karena pihak petugas depot Gasdom Pangkalansusu lagi disibukkan sendiri oleh semburan liar elpiji tersebut, sehingga mereka tidak sempat untuk menenteramkan warga masyarakat yang berdomisili dekat TKP.

Untung ada Tim Penunjang Penanggulangan Keadaan Darurat (TPKD) PT Pertamina EP Field Pangkalansusu yang dipimpin oleh Ketua TPKD, Tergiah Sembiring yang juga menjabat sebagai Ka. Layanan Operasi PT Pertamina EP Field Pangkalansusu bersama petugas HSE PT Pertamina EP Field Pangkalansusu segera bertindak sesuai SOP OPKD ( Organisasi Penanggulangan Keadaan Darurat ). Tugas TPKD bertambah ringan ketika petugas Polsek Pangkalansusu dengan mempergunakan mobil patroli polisi berusaha menentramkan masyarakat. Mobil patroli tersebut keliling pusat kota sampai ke pinggir kota (Beras Basah, Alur Cempedak dan Sei Siur) mengimbau masyarakat untuk mematikan kompor dan jangan menimbulkan api terbuka. Sedangkan tim lainnya dari OPKD tidak tampak.

Sementara mobil pemadam kebakaran milik PT Pertamina EP Field Pangkalansusu siaga di Posko Sekuriti, tidak jauh dari TKP, dan beberapa petugas HSE bersama petugas sekuriti Pertamina EP di bawah koordinasi TPKD segera melakukan pengamanan jalan menuju TKP serta melakukan pendeteksian gas di beberapa titik rawan seperti di kompleks perumahan Pertamina di Puraka I dan di jalan Nurul Huda yang merupakan kawasan terdekat dari TKP.

Dari hasil pendeteksian dengan memperguna digital gas detection terdata gas sebesar 0,2 % di kawasan Puraka I termasuk di Poliklinik Pertamina EP Pangkalansusu dan jalan Nurul Huda. “ Ini masih dalam ambang batas,” kata Ka. HSE PT Pertamina EP Field Pangkalansusu, Syamsul Bahri saat penulis hubungi melalui telepon selular.
Sedangkan Field Manager PT Pertamina EP Pangkalansusu, H. Helmi Polin Sitorus - kebetulan sedang cuti dan berada di Semarang,- terus memantau dan memberi arahan serta berkoordinasi dengan petugas TPKD dan HSE Pertamina EP tentang kemungkinan terjadinya musibah susulan, misalnya kebakaran..

Permasalahnya
Dari hasil pemantauan penulis sejak terjadinya semburan liar elpiji pertama pada tanggal 24 Maret 2010 sekitar pukul 02.05 dini dari tanki/skidtank T 71 selama lebih kurang 2 menit, kejadian pada dini hari itu juga penulis laporkan kepada petugas Humas BBM Retail Region I Sumatera, Fitri Erika Ganie. Info sms dari Ka. Ops Gasdom kepada Erika yang kemudian meneruskannya kepada penulis yang isinya membenarkan adanya kejadian tersebut. Menurut sms itu, semburan liar elpiji terjadi ketika tanki tersebut membuka valvenya saat discharge kapal, dan sudah dilakukan penutupan valve n pengisian ke skidtank. Terusan sms tersebut penulis terima pada pukul 02.31:24
Sepuluh hari kemudian, tepatnya pada tanggal 01 April 2010 sekitar pukul 21.45 menit terjadi lagi peristiwa yang sama di skidtank T 70 yang berkapasitas 3000 m3. Ketika itu juga sedang dilakukan pengisian elpiji dari kapal tanker AE Gas – tanker yang sama ketika terjadinya semburan liar gas dari tanki T 71. Yang jadi pertanyaan, kenapa peristiwa yang sama dapat terjadi kembali ?

Pada malam kejadian, penulis menerima informasi yang simpangsiur. Ada yang mengatakan bahwa PSV Skidtank sudah lemah, dan ada pula yang mengatakan bahwa PSV-nya berada dalam kondisi prima. Nah, kalau memang benar bahwa kondisi PSV-nya masih prima bearti musibah tersebut terjadi human error. Kalau bukan human error , artinya PSV memang sudah tidak layak pakai.

Apapun alasannya, menurut pendapat penulis, musibah itu terjadi akibat keteledoran petugas terkait. Maaf, bukan maksud penulis mau mencari “ kambing hitam ” atau memvonis seseorang. Yang pasti musibah itu telah terjadi, dan syukur tidak sampai terjadi kebakaran. Kalau sampai itu terjadi kebakaran, maka areal tank yard Bukit Khayangan dan sekitarnya akan menjadi lautan api. Kobaran api akan sulit dipadamkan mengingat di kawasan itu ( Tempat Kejadian Perkara ) terdapat beberapa Floating Roof Tank berkapasitas 25.000 KL (kilo liter) yang berisi crude oil ( minyak mentah ) bercampur kondensat dan tanki berisi kondensat Salamander. Akibatnya, sumur minyak di Field Rantau, Field Pangkalansusu dan Salamander terimbas dampak yang maha dasyat. Sumur minyak mereka terpaksa ditutup karena hasil produksi mereka tidak dapat ditampung di tank yard Bukit Khayangan Pangkalansusu.

Kesimpulan dan Sumbangsaran
Bercermin pada musibah semburan liar elpiji dari PSV skidtank milik fungsi Gasdom Region I Sumatera yang terjadi sebanyak 2 (dua) kali hanya dalam kurun waktu 10 hari ( 24 Maret 2010 dan 01 April 2010 ), apapun alasannya, ini mencerminkan adanya keteledoran petugas di fungsi terkait ( depo gasdom Pangkalansusu ). Selain itu, pihak depo gasdom Pangkalansusu terkesan tertutup. Ini dapat ditela’ah dari beberapa statement yang simpangsiur, seperti yang sudah dijelaskan dalam lembaran sebelumnya.


Penulis dapat memahami hal tersebut, mungkin pada waktu itu petugas terkait sedang shock akibat terjadinya musibah tersebut. Namun alangkah baiknya, apabila sebelum mengeluarkan pernyataan kepada pihak ketiga terlebih dahulu berkoordinasi dengan para pihak yang lebih berkompeten, yaitu Ka. Ops Gasdom ataupun GM Gasdom, misalnya.
Sementara ada beberapa kalangan yang menyatakan sangat sulit untuk berkoordinasi dengan Fungsi Gasdom, terutama dalam hal memperoleh data dan informasi yang diinginkan oleh pihak internal maupun eksternal. Komunikasi dikesankan tertutup. Tertutupnya komunikasi dari TKP ke luar, mungkin disebabkan oleh alat komunikasi (HP) tidak diaktivkan karena kawatir terjadinya kebakaran akibat radiasi HP yang cukup besar. Kalau memang begitu adanya, kenapa tidak memakai radio atau HT (Handytalky) anti radiasi seperti yang dipergunakan saat melakukan lifting/mooring. Oh, kami tidak ada peralatan tersebut. Kenapa tidak disediakan ? Selain itu hendaknya di areal depo gasdom Pangkalansusu juga disediakan 2 (dua) unit mobil pemadam kebakaran. Jangan hanya mengandalkan damkar milik PEP Pangkalansusu. Penulis tidak tahu persisi, apakah damkar eks UP-I di Pangkalan Brandan masih berfungsi atau tidak.

Sedang untuk rekan-rekan di PT Pertamina EP Field Pangkalansusu hendaknya jangan ada lagi anggapan atau pernyataan yang menyebutkan bahwa itu milik Upms Region I Sumatera, bukan milik EP. Apakah tanki E dan F (Kapasitas 25.000 KL) serta tanki C 12.000 KL seterusnya yang berisi crude oil di kawasan itu bukan milik EP ? Kalau tanki elpiji terbakar, maka tanki crude oil kemungkinan juga akan ikut terbakar. Akibatnya, hal itu akan menjadi “ doom day ” bagi Field Pangkalansusu, Rantau dan Salamander karena produksi terpaksa dihentikan akibat tidak ada lagi tempat untuk menampung hasil produksi mereka.

Untuk menghidari terulangnya dua kejadian tersebut di atas, hendaknya para petugas gasdom terkait lebih teliti dalam memantau pengisian elpiji, baik dari kapal tanker ke skidtank maupun dari depo ke mobil tanki (roadtank), mengingkat seharusnya kasus tersebut tidak terjadi karena memang sudah pekerjaan rutin.
Contoh soal, kalau skidtank tersebut isinya ada setengah - sebelum dilakukan pengisian dari kapal tanker - untuk pengisian sampai full tank akan memakan waktu berapa lama, misalnya 5 jam, maka infokan kepada pihak kapal untuk menyetop pengisian pada 4,5 jam. Kemudian periksa alat pengukur isi di skidtank. Sudah pas ! Maka pindahkan pengisiannya ke skidtank lainnya yang masih kosong. Kalau didiamkan saja, maka terjadilah over capacity. Meledaklah PSV karena daya tahannya sudah over dosis.

Bukankah dalam satu bulan berlangsung sekitar 11 sampai 13 kali pengisian elpiji dari kapal tanker ke skidtank, dan muatan kapal tanker tersebut, baik Asean Gas, Natuna Gas maupun AE Gas yang akhir-akhir ini rutin mensuplai elpiji dari Tanjung Uban, isinya tidak kurang dari 1300 ton walaupun kapasitas muat kapal tanker itu sendiri mencapai 1800 ton.

Dari berbagai sumber data terpercaya yang berhasil penulis himpun dapat diketahui bahwa pada tanggal 23 Maret 2010 sekitar pukul 17.15 WIB kapal tanker AE Gas berbendera Indonesia melakukan pengisian elpiji ke skidtank Bukit Khayangan Pangkalansusu, dan sekitar pukul 02.05 tanggal 24 Maret 2010 terjadi letupan pada katup PSV tanki T 71 sehingga katup PSV terbuka dan menyemburkan elpiji sekitar 2 (dua) menit lamanya. Artinya, dalam kurun waktu selama sekitar 9 (sembilan) jam katup PSV terbuka oleh tekanan gas (LPG).

Sementara pada tanggal 01 April 2010 sekitar pukul 09.00 WIB tanker AE Gas start pengisian elpiji ke tanki T 71, dan ketika pengisian gas dari tanker ke tanki “telor” sudah berlangsung selama 12 jam lebih (pukul 09.00 sd. pukul 21.45 WIB), terdengar suara letupan yang disusul dengan suara desingan yang cukup keras bagaikan suara mesin pesawat tempur super sonic selama sekitar 45 menit. Elpiji bertekanan tinggi menyembur keluar dari katup PSV yang terbuka menyulang ke angkasa sehingga langit kota Pangkalansusu diselimuti kabut putih elpiji. Cahaya bulan yang terang benderang jadi memudar.

Dari beberapa fakta di atas, seharusnya kejadian pada tanggal 24 Maret dini hari dapat dijadikan semacam early warning untuk melakukan pengecekan kondisi tanki T 70 sudah seberapa banyak isi tanki tersebut. Sebab ketika pengisian elpiji sudah berlangsung selama 9 (sembilan) jam terjadi semburan liar elpiji dari katup PSV. Apa bila pemantauan terus dilakukan di alat pengukur, musibah tanggal 01 April lalu kemungkinan tidak terjadi.

Lebih sepuluh tahun penulis menetap dan tinggal di Puraka I, baru kali ini penulis mendengar ada terjadi semburan liar elpiji dari PSV skidtank. Artinya apa ? Jelas bahwa kasus tersebut merupakan human error. Kalau mau mengambinghitamkan peralatan, ya tetap human error. Apakah pihak terkait tidak mengetahui berapa limit masa layak pakai PSV tersebut yang direkomendasikan oleh pabrik ?

Semoga kejadian yang sempat menggeger warga Pangkalansusu dan sekitarnya tidak terulang lagi. Saat ini yang jelas, Pertamina/negara sudah dirugikan akibat terjadinya looses elpiji. Sedangkan warga masyarakat dirugikan baik secara finansial ( kedai makanan dan minuman ) stop jualan maupun non finansial (rugi semangat akibat sport jantung). Untungnya rumah ditinggal kosong tetap aman karena yang berniat jelek (menjarah) juga ikuit kabur/mengungsi, takut jadi korban elpiji.

Akhirnya penulis mohon maaf apabila ada beberapa kalimat yang mungkin dapat menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu. Namun yang perlu dicatat bahwa tujuan penulis membuat tulisan ini adalah hanya sebagai kontrol sosial, bukan bermaksud menghakimi seseorang. Akan tetapi hanya sekedar mengingatkan agar para pekerja migas harus bekerja lebih ekstra hati-hati dalam melaksanakan kegiatan opertasional Pertamina yang memiliki risiko tinggi dan nyawa tarohannya. Lengah sedetik, hilang segala hasil kerja keras yang sudah dilakukan selama ini. Syukur kalau nyawa masih dapat diselamatkan. Kalau tidak, innalillahi wa’inna ilaihi ro-jiun. Ludes semuanya. Harta dan nyawa.

Pangkalansusu, 04 April 2010
Penulis,

Freddy Ilhamsyah PA

Minggu, 04 April 2010

Pangkalan Brandan, Sumur Perintis Berusia 125 Tahun

Saturday, February 20, 2010
Kilang Pangkalan Brandan tinggal kenangan

Lapangan minyak Pangkalan Brandan tinggal kenangan. Setelah 125 tahun 'diperah', Pangkalan Brandan kini tak lagi menyisakan minyak dan gas dan akan ditutup oleh Pertamina. Inilah sekelumit kisah tentang Pangkalan Brandan. Kisah heroik pejuang Aceh dan muhibah utusan Sriwijaya merupakan kisah tentang awal mula diketahui adanya minyak bumi di Indonesia. Namun sumur tidak ditemukan di Aceh, tapi justru di Sumatera Utara (Sumut), persisnya di Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara. Penemu sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, yang merupakan ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Penemuan itu sendiri merupakan buah perjalanan waktu dan ketabahan yang mengagumkan.


Prosesnya dimulai setelah Zijlker mengetahui adanya kemungkinan kandungan minyak di daerah tersebut. Ia pun menghubungi sejumlah rekannya di Belanda untuk mengumpulkan dana guna melakukan eksplorasi minyak di Langkat. Begitu dana diperoleh, perizinan pun diurus. Persetujuan konsesi dari Sultan Langkat masa itu, Sultan Musa, diperoleh pada 8 Agustus 1883. Tak membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun segera dilakukan Zijlker. Namun bukan di tempat sumur minyak pertama itu, melainkan di daerah yang belakangan disebut sebagai sumur Telaga Tiga.


Namun minyak mentah yang diperoleh kurang menggembirakan. Dan pada 17 November 1884, setelah pengeboran berlangsung sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh hanya sekitar 200 liter. Semburan gas yang cukup tinggi dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak. Namun Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian mengalihkan kegiatannya ke daerah konsesinya yang berada di sebelah timur. Untungnya memang konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, mencakup wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi, Pangkalan Brandan, sehingga bisa mencari lebih banyak titik pengeboran.


Pilihan kedua jatuh ke Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini, pengeboran mengalami sedikit kesulitan karena struktur tanah lebih keras jika dibandingkan dengan struktur tanah di Telaga Tiga. Usaha memupus rintangan struktur tanah yang keras itu, akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran mencapai kedalaman 22 meter, berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja. Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter. Jumlah itu terus bertambah hingga pada 15 Juni 1885, ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul semburan kuat gas dari dalam berikut mintak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I.


Penemuan sumur minyak pertama di Nusantara ini berjarak sekitar 26 tahun dari penemuan sumur minyak komersial pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville, negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company. Zijlker memang bukan orang pertama yang melakukan pengeboran minyak di Indonesia. Bahkan pada saat yang hampir bersamaan dengan Zijlker, seorang Belanda lainnya Kolonel Drake, juga tengah melakukan pencarian ladang minyak di Pulau Jawa, namun Zijlker mendahuluinya. Semburan minyak dari Sumur Telaga I jadi momentum pertama keberhasilan penambangan minyak di Indonesia. Nama Aeliko Janszoon Zijlker pun tercatat dalam Sejarah Pertambangan dan Industri Perminyakan Indonesia, sebagai penemu sumur minyak pertama dalam sejarah perminyakan di Indonesia yang telah berberusia 122 tahun hingga saat ini.


Telaga Tunggal I itu sendiri akhirnya akhirnya berhenti operasi pada tahun 1934 setelah habis minyaknya disedot pemerintah Belanda yang mengelola ladang minyak ini melalui perusahaan Bataafsche Petroleum Matschappij (BPM). Ketika ditinggalkan pada tahun 1934, jutaan barel minyak sudah berhasil dikeluarkan dari bumi Langkat melalui Sumur Telaga Tunggal. Beberapa sumur lainnya juga ditemukan di sekitar areal Telaga Tunggal I, namun juga sudah ditinggalkan sejak lama. Setidaknya ada empat bekas sumur minyak di sekitar itu. Lokasinya juga tidak tidak bergitu berhjauhan, hanya dipisahkan sebuah bukit. Tetapi setelah 119 tahun, sejak pemboran pertamanya, sumur itu ternyata tidak benar-benar kering. Beberapa tahun belakangan, minyak menetes dari pompa minyak yang terdapat di situ. Tetesan minyak dari sumur-sumur di kawasan itu masih ada sampai sekarang. Sementara di beberapa sudut, minyak juga merembes, membasahi daun-daun kering dan rumput di sekitarnya. Tetesan minyak ini bukannya tidak berguna. Warga sekitar yang mengumpulkannya dalam drum, lantas dijual kepada kilang minyak Pertamina di Pangkalan Brandan untuk diolah menjadi BBM.



Pertamina DOH NAD Area Operasi Pangkalan Brandan yang mengelola areal sejarah ini, memang mempunyai kebijakan untuk memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan sisa-sia minyak dari sumur. Selain untuk menjaga agar tidak terjadi pencemaran, juga untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Uang yang diperoleh dari penjualan minyak itu selanjutnya menjadi kas LKMD warga. Membicarakan Sumur Minyak Telaga I tidak bisa lepas dengan Kilang Minyak Pangkalan Brandan. Keduanya saling berkaitan. Catatan sejarah perjuangan bangsa juga melekat di sini. Kilang Pangkalan Brandan yang dikelola Unit Pengolahan (UP) I Pertamina Brandan, merupakan salah satu dari sembilan kilang minyak yang ada di Indonesia, delapan lainnya adalah, Dumai, Sungai Pakning, Musi (Sumatera), Balikpapan (Kalimantan), Cilacap, Balongan, Cepu (Jawa), dan Kasim (Papua).



Ketika dibangun N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun 1891 dan mulai berpoduksi sejak 1 Maret 1892, kondisi Kilang minyak Pangkalan Brandan, tentu saja tidak sebesar sekarang sekarang ini. Waktu itu peralatannya masih terbilang sederhana dan kapasitas produksi juga masih kecil. Bandingkan dengan kondisi sekarang, kilang yang berada di Kecamatan Babalan Langkat saat ini berkapasitas 5.000 barel per hari, dengan hasil produksi berupa gas elpiji sebanyak 280 ton per hari, kondensat 105 ton per hari, dan beberapa jenis gas dan minyak. Nilai sejarah kilang ini terangkum dalam dua aspek. Aspek pertama adalah memberi andil bagi catatan sejarah perminyakan Indonesia, sebab minyak pertama yang diekspor Indonesia bersumber dari kilang ini. Momentum itu terjadi pada 10 Desember 1957, yang sekarang diperingati sebagai hari lahir Pertamina, saat perjanjian ekspor ditandatangani oleh Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo dengan Harold Hutton yang bertindak atas nama perusahaannya Refining Associates of Canada (Refican). Nilai kontraknya US$ 30.000.


Setahun setelah penandatanganan kontrak, eskpor dilakukan menuju Jepang dengan menggunakan kapal tanki Shozui Maru. Kapal berangkat dari Pangkalan Susu, Langkat, yang merupakan pelabuhan pengekspor minyak tertua di Indonesia. Pelabuhan ini dibangun Belanda pada tahun 1898. Sedangkan aspek kedua adalah nilai perjuangan yang ditorehkan putra bangsa melalui kilang ini. Kisah heroiknya berkaitan dengan Agresi Militer I Belanda 21 pada Juli 1947, yakni aksi bumi hangus kilang. Aksi bumi hangus dilaksanakan sebelum Belanda tiba di Pelabuhan Pangkalan Susu, yakni pada 13 Agustus 1947. Maksudnya, agar Belanda tidak bisa lagi menguasai kilang minyak itu seperti dulu. Selanjutnya, aksi bumi hangus kedua berlangsung menjelang Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948. Tower bekas aksi bumi hangus itu masih dapat dilihat sampai sekarang. Nilai historis yang terkandung dalam aksi bumi hangus ini, terus diperingati sampai sekarang. Pada 13 Agustus 2004 lalu, upacara kecil dilaksanakan di Lapangan Petralia UP I Pertamina Brandan, yang kemudian bersamaan dengan dekralasi pembentukan Kabupaten Teluk Aru, sebagai pemekaran Kabupaten Langkat.

Warga Langkat Masih Trauma Kebocoran Gas

Nusantara / Jumat, 2 April 2010 14:57 WIB

Metrotvnews.com, Langkat: Sejumlah warga yang tinggal di sekitar tangki penampungan gas elpiji di Depo Pangkalan Susu, Langkat, Sumatra Utara, Jumat (2/4), masih mengungsi. Warga mengaku trauma dan khawatir kebocoran gas kembali terjadi. Tangki penampung gas elpiji Pertamina itu bocor kemarin.

Suasana di sekitar Depo Pangkalan Susu hari ini sudah kembali normal. Semalam, warga yang tinggal di sekitar lokasi ini panik karena tangki penampungan gas elpiji bocor. Tangki bocor saat gas elpiji dipompa dari kapal tangker ke tangki penampungan.

Sebagian warga sudah kembali beraktifitas seperti biasa. Namun, sejumlah warga masih mengungsi di rumah sanak famili yang letaknya jauh dari depot elpiji. Mereka mengaku trauma atas peristiwa itu. Kebocoran tangki ini bukan kali pertama. Dalam minggu terakhir sudah terjadi dua kali tangki bocor.

Warga mengeluh tidak adanya peringatan, seperti sirene, dari Depo Pertamina. Pihak Pertamina juga tidak pernah memberikan penjelasan kepada warga apabila tangki gas ini bocor. Hingga kini warga masih siaga di rumah mereka sembari berjaga-jaga apabila tangki gas kembali bocor. (Endang Junaidi/DOR)